Ia berdiri tegak kaku diatas sebuah tebing curam. Tepat dibawah kakinya, gelombang laut terlihat ganas datang bergulung-gulung, menghempas lalu terburai dihadang karang yang tajam. Sinar mentari terik menghunjam ubun-ubun kepalanya. Panas dan membakar. Ia tidak peduli.
Made, lelaki itu, dengan dada telanjang dan otot berkilat keringat, menatap nanar kedepan. Kedua kakinya kuat mencengkeram ketanah tempat ia berpijak seperti akar pohon beringin yang kokoh tak tergoyahkan. Tangannya terkepal. Kedua ruas bahunya meregang kencang. Rahangnya mengeras. Tak ada rasa gentar dimatanya. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk sekalipun.
Seberkas sinar menyilaukan mendadak datang dari kejauhan. Di ufuk cakrawala. Made memicingkan mata untuk lebih cermat melihat apa yang tengah terjadi saat itu. Cahaya pelangi muncul dari sana.
Indah. Bercahaya. Berpendar. Membiaskan warna-warni cerah. Membentuk lengkung ibarat “jembatan” yang mengarah kearahnya. Ke tempat ia berdiri.
Made terkesima. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Seperti mimpi. Disana, dari kejauhan, perlahan tapi pasti, sosok gadis yang sangat dikenalnya muncul. Dalam balutan gaun putih berkibar dan rambut panjangnya bergerai ditiup angin. Anggun berjalan meniti pelangi. Seperti peri menyapa pagi. Seperti bidadari melukis hari.
“Andini..,”bisik Made lirih. Penuh rindu. Juga pilu.
Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Matanya berbinar ceria. Ia lalu mengulurkan tangan kearahnya.
Made menyambut uluran tangan itu dengan gemetar. Senyumnya pun mengembang. Hatinya berbunga menyambut kebahagiaan yang siap ia reguk sepuasnya. Tanpa henti.
Tapi hal yang tak terduga terjadi. Tebing tempat ia berdiri tiba-tiba runtuh. Pijakan kakinya goyah. Dan iapun jatuh dengan tangan menggapai-gapai tak rela. Gadis itu menjerit tertahan dan berusaha meraih tangan Made. Tapi sia-sia.
Made meluncur deras kebawah. Tak terbendung. Ia berteriak sekuatnya memanggil nama Andini. Gema suaranya memantul pada dinding-dinding tebing. Tubuhnya melayang. Menuju laut yang ganas menerjang dan karang yang tajam menghunjam.
Lalu semua menjadi gelap. Pekat. Hitam. Kelam.
Made terbangun dengan nafas tersengal. Perlahan ia menyeka bulir-bulir keringat didahinya. Sebuah mimpi buruk, umpatnya kesal.
Sementara itu, ratusan kilometer dari tempat Made, Andini terbangun dengan mimpi yang persis sama. Dalam remang kamar, Andini mendesah pelan. “Dia akan datang, dengan menawarkan kesempatan kedua”.
***
My Momma always said:
Life was like a box of chocholates
You never know
What you’re gonna get
-Tom Hanks, Forrest Gump,1994
Andini tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah “post-it” warna kuning disamping komputer Ira.
“Artinya dalem kan’?” ujar Ira seperti menebak arah fikiran kawan dekatnya itu.
Andini mengangguk.”Kamu koq sempat-sempatnya nulis dan pasang ungkapan konyol kayak gitu sih ? Di samping komputer lagi. Norak banget deh!” komentarnya lugas.
Ira terkekeh pelan.
“Lucu sekaligus mencerahkan, An. Membacanya tiap hari, membuatku untuk senantiasa merenung bahwa, dalam hidup ini apa yang kita jalani belum tentu sama dengan apa yang kita inginkan. Seperti sekotak cokelat,” sahut Ira seraya menepuk pundak Andini.
“Yaa..paling tidak,”lanjutnya, “aku mesti berusaha agar apa yang aku capai dalam menjalani kehidupan cukup sesuai dengan apa yang aku inginkan. Meski tidak persis-persis amat. Yang penting ada usaha ke arah sana. Dan itu, you know, membahagiakan”.
Andini manggut-manggut mafhum. Ira meraih kursi dan mempersilahkan Andini duduk disana. Ia sendiri memilih duduk dipinggir meja kerjanya tepat disamping kursi tersebut.
“Duduklah, say. Aku tahu kamu sedang ada masalah. Wajahmu terlihat begitu kusut, tidak seperti Andini yang aku kenal dulu. Coba katakan mudah-mudahan aku bisa bantu,” kata Ira lembut.
Andini mendesah panjang dan segera duduk di kursi yang disodorkan sahabat baiknya itu. Baca lebih lanjut →