GOOD BYE 2008, HELLO 2009!

Selalu ada kesedihan sekaligus kegembiraan menyeruak di dada ketika pergantian tahun tiba. 

Dan di penghujung tahun ini, saya kembali merasakan sensasi serupa. Kesedihan karena akhirnya meninggalkan tahun yang penuh kesan dan kenangan dimana ada berbagai jejak kiprah, karya, kisah bahkan kekonyolan sekalipun terpatri disana. Ada rencana-rencana yang terlaksana, ada yang tidak. Ada yang datang dan ada juga yang pergi. Ada yang hilang dan ada juga yang berbilang. Ada yang terang dan ada pula yang kelam. 

Seperti Pelangi, tahun 2008 membiaskan beragam warna. 

Pada saat yang sama menyongsong Fajar tahun 2009, saya selalu menetapkan optimisme kuat dalam hati untuk menjalani tahun yang konon kian berat pasca krisis ekonomi global yang tengah melanda dunia saat ini. Pemilu 2009 tak pelak juga menjadi momen penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia dan tentunya kita semua berharap agar perhelatan akbar demokrasi di Indonesia berlangsung dengan aman dan tertib.

Baca lebih lanjut

MENIKMATI SEKEPING SURGA DIRUMAH

SAYA selalu menikmati “ritual” harian itu. 

Setiap malam di hari kerja, usai pulang kantor, saat membuka pintu pagar rumah, kedua anak saya, Rizky dan Alya datang menyambut kedatangan saya dengan kegembiraan membuncah. Mereka menghambur ke pelukan saya dan sembari berteriak senang. Alya minta digendong dan Rizky membawakan tas ransel saya. Jalannya terseok-seok karena mesti memanggul tas ransel yang cukup berat itu. 

Semua kelelahan yang saya alami menempuh perjalanan Cilandak-Cikarang sejauh 40 km mendadak sirna sesaat setelah melihat wajah ceria kedua “malaikat” kecil saya itu. Saat duduk terhenyak di sofa kursi tamu, tangan-tangan mungil itu bergerak membantu melepaskan kaos kaki dan sepatu saya. 

“Capek ya Pa?”, tanya Alya prihatin seraya memijit lengan saya. 

“Ya, iyalah..Papa capek,  kantornya jauh banget,” sahut Rizky spontan. Ia lalu merapikan sepatu saya yang telah dilepas ke pinggir. Si sulung itu lantas duduk disamping saya sembari turut membantu memijat lengan sebelah kanan.

Baca lebih lanjut

MEMPERKENALKAN : SI ACI & MEJA KERJA SAYA

mejakerjaku-2.JPG

Foto diatas adalah meja kerja saya dirumah bersama si Aci, nama laptop kesayangan (Acer Aspire 4715Z) yang saya beli tahun lalu. Disampingnya ada Printer Canon Pixma IP1700, Majalah Tempo edisi terbaru, buku “Cherish Every Moment” karya Arvan Pradiansyah serta buku kumpulan kisah Hikmah Republika “Adakah Allah Selalu Di Hatimu”serta segelas kopi yang hampir habis. Sebuah modem Wimode CDMA tertancap disisi kiri si Aci yang menjadi andalan utama saya berselancar di dunia maya. Hingga kini, saya masih menunggu kedatangan si Deli (Dell Inspiron Mini 9) hadiah Door Prize dari Dell yang saya peroleh secara simbolis tanggal 16 Desember lalu Bila si Deli datang, maka ia akan menemani saya dan si Aci di meja ini, mencumbui malam.  Namun karena bentuknya yang ringkas dan kecil, saya berencana akan terus membawa si Deli didalam tas ransel kemana saja. Dan si Aci tetap setia menunggui meja tersebut.

Meja kerja saya ini terletak dikamar berukuran 4 x 3 meter persegi, milik anak pertama saya, Rizky. Karena kami sekeluarga tidur sama-sama di kamar yang satu lagi disebelahnya, kamar ini kosong dan selain dimanfaatkan sebagai tempat kerja saya serta ruang belajar Rizky, juga berfungsi sebagai mushala mini tempat kami sekeluarga sholat berjamaah dan diwaktu siang, usai Alya pulang sekolah menjadi tempatnya bermain boneka.Di kamar ini terletak sebuah lemari pakaian Rizky, Komputer Desktop (“warisan” dari kantor yang sudah dipenuhi game interaktif kegemaran Rizky)  serta sebuah box plastik berisi boneka-boneka Alya.

Saya kerap menggunakan meja kerja ini usai sholat malam menjelang dini hari dimana biasanya ide-ide datang dengan derasnya serta minim gangguan anak-anak yang sudah lelap tertidur. Kadang-kadang saya menggunakannya di pagi atau sore hari disaat libur. Namun sangat rawan gangguan dari Alya yang selalu naik ke punggung ketika ayahnya sedang asyik mengetik.

Baca lebih lanjut

CINTA DAN JALAN PULANG TAK BERTEPI – SABERIN BAGIAN KETIGA

Ia berdiri tegak kaku diatas sebuah tebing curam. Tepat dibawah kakinya, gelombang laut terlihat ganas datang bergulung-gulung, menghempas lalu terburai dihadang karang yang tajam. Sinar mentari terik menghunjam ubun-ubun kepalanya. Panas dan membakar. Ia tidak peduli.

Made, lelaki itu, dengan dada telanjang dan otot berkilat keringat, menatap nanar kedepan. Kedua kakinya kuat mencengkeram ketanah tempat ia berpijak seperti akar pohon beringin yang kokoh tak tergoyahkan. Tangannya terkepal. Kedua ruas bahunya meregang kencang. Rahangnya mengeras. Tak ada rasa gentar dimatanya. Ia sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk sekalipun.

Seberkas sinar menyilaukan mendadak datang dari kejauhan. Di ufuk cakrawala. Made memicingkan mata untuk lebih cermat melihat apa yang tengah terjadi saat itu. Cahaya pelangi muncul dari sana.

Indah. Bercahaya. Berpendar. Membiaskan warna-warni cerah. Membentuk lengkung ibarat “jembatan” yang mengarah kearahnya. Ke tempat ia berdiri.

Made terkesima. Ia tak percaya pada apa yang dilihatnya. Seperti mimpi. Disana, dari kejauhan, perlahan tapi pasti, sosok gadis yang sangat dikenalnya muncul. Dalam balutan gaun putih berkibar dan rambut panjangnya bergerai ditiup angin. Anggun berjalan meniti pelangi. Seperti peri menyapa pagi. Seperti bidadari melukis hari.

“Andini..,”bisik Made lirih. Penuh rindu. Juga pilu.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Matanya berbinar ceria. Ia lalu mengulurkan tangan kearahnya.

Made menyambut uluran tangan itu dengan gemetar. Senyumnya pun mengembang. Hatinya berbunga menyambut kebahagiaan yang siap ia reguk sepuasnya. Tanpa henti.

Tapi hal yang tak terduga terjadi. Tebing tempat ia berdiri tiba-tiba runtuh. Pijakan kakinya goyah. Dan iapun jatuh dengan tangan menggapai-gapai tak rela. Gadis itu menjerit tertahan dan berusaha meraih tangan Made. Tapi sia-sia.

Made meluncur deras kebawah. Tak terbendung. Ia berteriak sekuatnya memanggil nama Andini. Gema suaranya memantul pada dinding-dinding tebing. Tubuhnya melayang. Menuju laut yang ganas menerjang dan karang yang tajam menghunjam.

Lalu semua menjadi gelap. Pekat. Hitam. Kelam.

Made terbangun dengan nafas tersengal. Perlahan ia menyeka bulir-bulir keringat didahinya. Sebuah mimpi buruk, umpatnya kesal.

Sementara itu, ratusan kilometer dari tempat Made, Andini terbangun dengan mimpi yang persis sama. Dalam remang kamar, Andini mendesah pelan. “Dia akan datang, dengan menawarkan kesempatan kedua”.

***

My Momma always said:

Life was like a box of chocholates

You never know

What you’re gonna get

-Tom Hanks, Forrest Gump,1994

Andini tersenyum tipis setelah membaca sekilas potongan kutipan ungkapan yang ditulis diatas sebuah “post-it” warna kuning disamping komputer Ira.

“Artinya dalem kan’?” ujar Ira seperti menebak arah fikiran kawan dekatnya itu.

Andini mengangguk.”Kamu koq sempat-sempatnya nulis dan pasang ungkapan konyol kayak gitu sih ? Di samping komputer lagi. Norak banget deh!” komentarnya lugas.

Ira terkekeh pelan.

“Lucu sekaligus mencerahkan, An. Membacanya tiap hari, membuatku untuk senantiasa merenung bahwa, dalam hidup ini apa yang kita jalani belum tentu sama dengan apa yang kita inginkan. Seperti sekotak cokelat,” sahut Ira seraya menepuk pundak Andini.

“Yaa..paling tidak,”lanjutnya, “aku mesti berusaha agar apa yang aku capai dalam menjalani kehidupan cukup sesuai dengan apa yang aku inginkan. Meski tidak persis-persis amat. Yang penting ada usaha ke arah sana. Dan itu, you know, membahagiakan”.

Andini manggut-manggut mafhum. Ira meraih kursi dan mempersilahkan Andini duduk disana. Ia sendiri memilih duduk dipinggir meja kerjanya tepat disamping kursi tersebut.

“Duduklah, say. Aku tahu kamu sedang ada masalah. Wajahmu terlihat begitu kusut, tidak seperti Andini yang aku kenal dulu. Coba katakan mudah-mudahan aku bisa bantu,” kata Ira lembut.

Andini mendesah panjang dan segera duduk di kursi yang disodorkan sahabat baiknya itu. Baca lebih lanjut

CERPEN “PENGANTIN MATA BIRU” – IN MEMORIAM, TSUNAMI ACEH 2004


Para Pembaca blog ini yang budiman,

Untuk mengenang kembali setahun peristiwa tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 lalu bersama ini saya persembahkan cerpen “Pengantin Mata Biru”.

Cerpen ini belum pernah dimuat dimedia manapun tetapi saya persembahkan khusus sebagai souvenir pernikahan untuk adik dan sahabat saya sesama mantan pengelola surat kabar kampus “Identitas” Unhas, Abdullah Sanusi dan Rusni Fitri, 2005. Souvenir yang unik karena berupa buku mungil yang berisi kumpulan cerpen dan puisi dari kawan-kawan dekat.

Mari kita berdoa semoga arwah para korban musibah Tsunami Aceh 2004 mendapatkan tempat terbaik disisiNya dan keluarga yang ditinggalkan tetap tabah serta tawakkal melewati cobaan ini.  

Semoga berkenan.

————

AKU menyusuri wilayah Desa Kuala Daya, Kecamatan Lamno, Aceh Jaya, dengan perasaan tak menentu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah rencong ini, pemandangan yang terhampar dihadapanku sungguh membuat batinku pilu dan tersentak. Betapa tidak, daerah pesisir pantai yang konon terkenal akan keindahannya itu, kini dibaluri warna coklat tua bercampur kering darah. Bangunan porak poranda, hanya menyisakan puing-puing tak berarti. Seonggok perahu tampak tergeletak di samping sebuah bangunan rumah yang telah luluh lantak. Beberapa bangkai perahu lainnya terserak di banyak tempat. Bau anyir mayat masih tercium dan meruap di udara.

Setelah usai bergelimang kesibukan membagi-bagikan bantuan logistik kepada korban tsunami daerah itu bersama rekan-rekan prajurit TNI sejak pagi hingga siang, aku berkesempatan melihat-lihat kondisi daerah tersebut lebih dekat. Senja mulai rebah ke peraduan dan matahari menyisakan redup sinarnya. Cahaya temaram sang raja siang itu begitu kontras dengan suasana muram di kampung nelayan yang terletak dikaki bukit Ujung Seudon tersebut. Kesunyian yang mencekam begitu terasa. Aku telah berjalan kurang lebih 1,5 kilometer dari basecamp. Dan terus berjalan.

Pada jarak kurang lebih dua meter dari tempatku berdiri, aku melihat sesosok lelaki muda dengan pakaian kumal duduk diatas sebongkah tembok bekas bangunan runtuh. Aku mendekati lelaki itu perlahan. Matanya menerawang seakan menembus garis batas cakrawala nun di ujung sana. Sekilas aku melihat sosok lelaki itu terlihat sedikit berbeda dengan lelaki korban pengungsi yang kutemui sebelumnya. Ia memiliki postur tubuh relatif jangkung, kulit putih kemerahan, rambut sedikit pirang, alis mata tebal dan bermata biru. Ya, bermata biru. Aku sedikit terkejut dan takjub menyaksikan keajaiban yang terjadi dihadapanku.

“Maaf, boleh saya duduk disini, disamping anda?” aku menyapa lelaki itu.

Lelaki itu tidak menjawab, lalu menggeser pantatnya ke kiri dan memberi ruang bagiku untuk duduk. Matanya masih menatap kosong kedepan.

Baca lebih lanjut

UNTUK SEPOTONG SENJA DI AKHIR TAHUN

Pantai Losari

Dalam Diam, kau termangu
Sepotong senja dibatas cakrawala memaku pandangmu
“Di akhir tahun, selalu ada rindu yang luluh disana, sejak dulu”
katamu, pilu

Terlampau cepat waktu berderak
hingga setiap momen tak sempat kau bekukan dalam hati
tapi tidak untuk ini
selalu ada ruang buatnya dipojok sanubari
dimana kangen itu kau kemas
bersama serpih-serpih kenangan
yang terserak dan telah kau simpan rapi
pada lanskap langit atau kerlip bintang di bentang lazuardi
hingga ketika saat itu tiba
kau memetiknya satu-satu
dengan asa menyala, juga senyum getir
seraya mengurai lamunan
“Kalau saja mesin waktu bisa diciptakan, selalu
akan ada kesempatan berikut”, igaumu pelan.
Begitu banyak garis batas memuai
saat kau terbuai

Dan ketika rindu itu terbenam bersama mentari senja,
sekali lagi, setiap waktu di akhir tahun tiba,
kau kembali diam dan termangu dipagut sepi yang menikam
serta sesal tak bertepi

Cikarang, 25-12-2008, 05:40 AM

Catatan:Foto Senja di Pantai Losari diambil dari sini

YANG “MELENGKING” DARI BLOGWALKING (25)

dompetjebol.JPG

1. Biar Dompet Jebol Yang Penting Terkontrol

Ini adalah sebuah layanan Microblogging yang beda, unik, dan fungsional. Seperti terungkap pada halaman depan situs ini:

Layanan microblogging gratis yang berguna untuk mencatat data pengeluaran anda sehari – hari. Posting setiap pengeluaran anda dan lihat apa komentar orang lain.

Anda bisa mendaftar disana dengan gratis. Setelah login, anda akan menemui halaman ini (yang ringkas dan “ramah bandwith”).  Disana kita bisa dengan mudah dapat memposting berapa besar jumlah pengeluaran yang kita alokasikan, kategori serta keterangan. Lalu klik posting. Untuk melihat rekap pengeluaran bisa dilihat dilink Jurnal. Saya sudah coba dan sangat ringan diakses lewat piranti handphone berkoneksi GPRS sekalipun. Tertarik? Silahkan daftar saja kesana. Pokoknya walau dompet jebol yang penting terkontrol!

2. Selamat Datang Bekasi News

Sebagai warga Bekasi, saya sangat senang dengan hadirnya situs ini. Paling tidak saya bisa memperoleh berita-berita atau artikel-artikel terkait sekitar kediaman saya. Penjelasan situs ini adalah:

Bekasinews menyediakan fasilitas interaktif berupa pengiriman berita dari reporter bebas atau dikenal dengan Citizen Jurnalism, Untuk bergabung dengan Citizen Jurnalisme terlebih dahulu melakukan register pada menu yang tersedia dibawah ini.

Semoga sukses dan langgeng terus, Bekasi News. Nanti kapan-kapan jikalau sempat dan tak diburu tenggat, saya akan kirim tulisan kesana.

3. TO:SER Blog Contest

Ini sebuah kontes ngeblog yang unik. Dimana para peserta lomba yang bertema Duniaku; Duniamu; Dunia Serba Blog ini diminta menyajikan pengalamanannya selama ngeblog, alasan tentang asyiknya ngeblog serta propaganda untuk ngeblog. Kontes ini berhadiah hosting gratis. Keterangan lengkap, bisa baca di situs resminya

HIDUP SEDERHANA, DISITU KUNCINYA !


Hidup Sederhanaa..

Gak Punya apa-apa, tapi banyak cinta..

Hidup Bermewah-mewahan

Punya banyak harta, tapi sengsara

Seperti Para Koruptor..

(Seperti Para Koruptor, Slank, 2008)

Seorang pengamen jalanan melantunkan lagu anyar andalan Slank tersebut diatas bis yang saya tumpangi dalam perjalanan menuju ke kantor tadi pagi. Disamping saya duduk seorang pria tua dengan uban yang nyaris menutupi seluruh kepalanya nampak benar menikmati lagu itu dengan mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama. Bibirnya menyunggingkan senyum.

“Lagunya enak ya dik,” katanya membuka pembicaraan.

Saya mengangguk setuju.

“Iya pak, pokoknya amit-amit deh, jangan sampai kita punya harta banyak tapi malah hidup sengsara,” saya menyahut pelan.

“Bener, dik. Hidup Sederhana, terlebih di zaman krisis finansial global seperti sekarang ini, jadi kunci utama membuat kita tetap bertahan,” jawab bapak tersebut bersemangat.

“Tapi pak, walau hidup sederhana, banyak cinta, namun duit gak ada, tetap aja sengsara lho pak,” kata saya mengadu argumen.

Si Bapak menyunggingkan senyum lebar. Ia menatap saya dalam-dalam.

Baca lebih lanjut

SELAMAT HARI IBU

Di Hari Ibu tahun ini, hati saya kembali gerimis.

Saya begitu merindukan beliau, perempuan bermata rembulan yang telah melahirkan saya 38 tahun silam. Sebuah do’a saya lantunkan untuk ibu usai sholat tahajjud malam ini, agar Allah SWT bisa mengampunkan dosa-dosanya, memaafkan kesalahannya, dan mengasihinya sebagaimana beliau mengasihi saya dan adik-adik saya dalam suasana suka dan duka, serta semoga cahaya rembulan dimatanya tetap abadi, selamanya. Setidaknya di ruang hati kami, anak-anaknya.

Sebuah persembahan sederhana memperingati hari ibu kali ini, yaitu sebuah puisi bagus dari penyair D Zawawi Imron yang saya kutip dari sini

Ibu

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau aku ingat sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa aku bayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang ibu menunjuk ke langit,
kemudian ke bumi

aku mengangguk meskipun kurang mengerti
bila kasihmu ibarat samudra

sempit lautan teduh tempatku mandi,
mencuci lumut pada diri tempatku berlayar,
menebar pukat dan melempar sauh lokan-lokan,
mutiara dan kembang laut semua bagiku

kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu ibu, yang akan kusebut paling dahulu
lantaran aku tahu engkau ibu dan aku anakmu
bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu , bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku

1966

Selamat Hari Ibu untuk ibu saya, ibu mertua saya, ibu anak-anak saya dan seluruh ibu di dunia..

ME@KOMPASIANA

kompasianame.JPG

Sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya, karena hari ini, saya akhirnya dapat menjadi bagian dari blogger di “Journalist Blog Network-nya Kompas” yaitu Kompasiana. Ada 4 tulisan saya dimuat di salah satu Channel Kompasiana yaitu di halaman Publik Kompasiana. Bukan tulisan baru memang, karena semuanya pernah dimuat diblog ini. Saya bermaksud untuk memperluas segmen pembaca tulisan-tulisan saya, terlebih sepanjang yang saya tahu, Kompasiana yang merupakan salah satu bagian dari koran beroplah terbesar di Indonesia yang memiliki jaringan pembaca yang cukup luas dan beragam.

Sebenarnya saya sudah mendaftar sejak minggu lalu dan baru sempat posting kemarin. Sesuai aturan, tulisan-tulisan saya mesti melalui proses moderasi dari tim redaksi Kompasiana terlebih dulu. Alhamdulillah, ternyata tidak ada masalah yang berarti hingga keempat tulisan yang saya posting langsung dimuat disana. Silahkan baca tulisan saya tentang “Ibu”, “Romantika Pekerja Komuter”, Lelaki Pencatat Kenangan” dan Generasi Platinum di Kompasiana. Insya Allah, saya akan terus mengirimkan tulisan saya kesana.

Anda pun bisa ikut partisipasi di channel Publik Kompasiana. Tinggal registrasi gratis, posting tulisan, ditinjau oleh tim redaksi Kompasiana dan tunggulah–jika memang beruntung–tulisan anda akan dimuat.